Peringatan Hari Bambu Sedunia atau World Bamboo Day VIII di gelar di
Kawasan Mandala Candi Borobudur Magelang, Jateng pada 18 September 2012.
Keberadaan tanaman bambu di Indonesia sendiri kini terancam dan kalah
dengan Filipina dan Vietnam.
Padahal, pada tahun 2006 lalu
Indonesia secara statistik berada di kelas dan urutan ketiga terkait
keberadaan komoditas dan habitat bambu. Setelah pada urutan pertama
diduduki oleh negara China yang dikenal sebagai negara tirai bambu dan
India menempati urutan kedua yang memiliki luasan lahan bambu sekitar
3,8 hektar.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan
jaman dari 1500 jenis bambu di dunia, kini Indonesia hanya memiliki 150
jenis bambu. Pasalnya, kedua negara itu menerapkan kebijakan bahwa bambu
merupakan komoditi negara yang harus dan wajib digalakkan penanamannya.
Sementara, kebijakan pemerintah Indonesia tidak berpihak sama sekali
untuk perlindungan dan pelestarian terhadap keberadaan bambu yang
harusnya menjadi tuan rumah di negeri Indonesia sendiri.
"Kebijakan pemerintah. Indonesia khususnya di Kementerian Kehutanan,
bambu hanya masuk dan ditetapkan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
tidak penting dibanding hasil hutan berupa pohon. Kebijakan bambu masih
belum diterapkan dan dikembangkan menuju ke industri bambu. Selain itu,
sisi sumber bahan baku di Indonesia masih tersebar sehingga pemanfaatan
dalam jumlah besar kesulitan. Juga persepsi publik pengaruhi
perkembangan soal bambu yang menurut masyarakat bambu hanya digunakan
gedhek atau lincak," ungkap Pemerhati Bambu Universitas Gadjahmada (UGM)
Dr Anto Rimbawanto kepada merdeka.com, Sabtu (14/9).
Rimbawanto
menjelaskan pada Kementerian Kehutanan saat dipegang oleh Sarwono Kusuma
Atmaja sekitar tahun 1998 ada strategi nasional pemanfaatan bambu serta
perlunya konservasi dan pemanfaatan bambu. Namun, kebijakan itu tidak
spesifik dan lembaga mana yang harus berperan dan melaksanakan kebijakan
itu sehingga kebijakan itu terkesan mandeg dan jalan di tempat.
"Hanya
sebatas dokumen dan sampai sekarang tidak ada program nasional itu.
Yang terjadi, lembaga-lembaga yang melakukan penelitian tidak
terintegrasi. Harus ada langkah dan itikad kuat dan baik dari pemerintah
yang lebih jelas untuk memanfaatkan dan mengembangkan bambu," jelasnya.
Kondisi jalan di tempatnya komoditi dan industri bambu ini sering
dikeluhkan pelaku usaha suplay terbatas. Padahal potensi untuk membuat
produk bambu sangat luar biasa. Diantarnya bisa digunakan untuk membuat
papan, lantai, kolom, bahan baku krayon, kertas dan pembangkit listrik.
Juga banyak desainer Institut Teknologi Bogor (ITB) membuat dan
mengembangkan furniture dari bambu pun sampai saat ini tidak tampak.
"Tren
yang terjadi seperti itu. Pasar bambu Eropa juga semacam itu. Harapan
kita ada gerakan menanam bambu serta upaya sistematis bambu dijadikan
sebagai komoditi dan sentra industri di Indonesia," tuturnya.
Marc
Peeters dari World Bambu Organitation warga negara Belgia, menyatakan
ada kesan di pemerintah Indonesia sama sekali menutup mata dan tidak
peduli dengan komoditi tanaman bambu. Sehingga kesan pertama menyatakan
sangat sulit mendapatkan bibit bambu di Indonesia. Padahal, Marc sendiri
telah berhasil mengembangkan ratusan bibit Bambu dari berbagai jenis di
Pakem, Sleman, DIY dan sudah melakukan eksport ratusan kali ke berbagai
negara baik Asia, Afrika dan Eropa.
"Di negara Eropa susah dapat
bibit bambu. Mereka semua mendatangi pembibitan di tempat saya di Pakem
Sleman. Bahkan mantan Menteri Kehutanan Sarwono saat datang ke tempat
saya menyatakan dengan apa yang ada di sini (pembibitan bambu Sleman)
bisa kita buat program saya dulu," ungkap Peeters
baca di laman aslinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar